Updatekareba.Com – Beberapa hari belakangan ini, warung kopi, alang, medsos warga TORAJA serta media dan area lainnya dipenuhi perbincangan seputar pilkalem, pilkada, uang dan integritas, empat kata yang menjadi akar perbincangan heboh.
Ramainya sudah lama, tetapi viralnya meninggi sejak pertemuan sejumlah tokoh tgl 29 Agustus pekan silam di Heritage Hotel Rantepao dengan topik; Deklarasi Gerakan Integritas. Maka sejak hari itu diskusi atau sekedar obrolan pengisi waktu di alang menunggu acara dimulai, atau pun di medsos kian ramai.
Ada yg serius, ada yg bertanya, ada yang melengkapi, tapi buda duka ia tu tau memang kayaknya didadian untuk patelle-telle , apa pun “dipokada inang napopaningoan ia”
Ramainya perbincangan berlanjut dalam Kombongan Tallu Lalikan di Tongkonan Sangulele Kamis tanghal 5 September 2019. Salah satu poin dr Kombongan tersebut semua bakal calon kalem ( Kepala Lembang ) dan pendaftar utk ikut Pilkada harus menandatangani fakta integritas.
Singkat diskusi supaya da’ na kalando bang ulelean karena buda komi tu tarruk sibuk, termasuk sibuk ma’WA sampai lupa tugas/kerja, yang saya tangkap dari seluruh perbincangan, baik yang serius mau pun tu patelle-telle na, sepertinya masalah integritas ini hal yang sangat baru bagi masyarakat TORAJA.
Kalau istilahnya iyah, tetapi esensinya; kakinaan ( satunya kata dengan perbuatan ) adalah NILAI yang hidup dan menempati tempat penting dalam tata nilai kehidupan masyarakat TORAJA. Karena itu kita mengenal ( mungkin memang bagi generasi milenial baru dan perluh ditanamkan ) istilah2 yang melekat dengan masyarakat dan sering mendapat penekanan dalam perbincangan – perbincangan resmi al, dipepalisu tu tau, ia tu kita ma’rupa tau ia tu lilata kale’ke’ta, kadanta ri ditoe, ditanga’ Melo tu kada na Mane dipatassu’ saba’ ia na tassu’mo tawana mo tau, tae’ na den ma’kada (unnoni ) totosik dan berbagai istilah lain yang intinya merujuk pada INTEGRITAS.
Jadi sesungguhnya Ikhwal INTEGRITAS bukan hal baru bagi kita TORAYA, to unrande aluk ( baik aluk to Dolo pun aluk mellao langi’) to untaranak kakinaan.
*Tipologi JUJUR*
Dua tahun silam saya pernah memposting pertemuan saya dengan seorang Tionghoa asal Palembang yang domisili di Jkt ( masih ibu kota sampai hari ini ces ) pedagang kopi Toraja awal thn 60-an ( maaf saya lupa namanya, tambai bang mi angko ).
Tapi ini benar karena waktu itu saya posting fotonya tinggi besar dan putih, baba’ to bua’raka na la malotong. Saya tidak ikutan foto utk di-posting Krn madongkong na’ jadi tidak menarik utk ditonto Jadi resmi, mukua i mani kubalukki bang komu pedampi apa lagi tae’ mo tu Nasir ma’baluk pedampi 🤓 to biasa bang male nalimbui pia passikola lo’ Pasa’ Bombongan sia daya Pasa’ Kalambe’, di antaranya yg sedang baca WA ini.
Perjumpaan saya dgn angko di sebuah taman asri pagi menjelang mentari terbit, tidak terjadwal, maksudnya tidak terencana ( Pdt Paulina pernah menginterupsi saya di Buntu Minanga karena saya bilang kebetulan Krn kt beliau, tidak ada yg kebetulan, ROH KUDUSlah yang mengatur hidup kita ).
Singkat cerita, saat saya perkenalkan diri sebagai orang TORAJA, angko spontan memperlihatkan mimik yg ceria dan spontan berkata; ” orang TORAJA itu orang paling jujur yang pernah saya temui”.
Jujur saya bangga mendengar ada orang yang saya belum kenal tiba2 bilang; orang TORAJA jujur. Bisa saja orang basa-basi untuk memuji komunitas orang yang dihadapinya, itu biasa dalam tata Krama pergaulan.
Tetapi si angko lalu berceritra lebar panjang tentang pengalamannya berdagang kopi dari TORAJA yang membuat saya berkesimpulan beliau tidak basa-basi tetapi mengisahkan pengalaman konkritnya. Karena dagang, sering dia meminta seseorang untuk mencarikannya kopi di kampung – kampung ada yang dikasih uang terlebih dahulu, ada juga yang tanpa uang.
Dari penjelasannya dalam keadaan kami tetap berdiri menikmati sinar mentari pagi diiringi cericit burung yang terbang dari dahan ke dahan, angko menjelaskan mereka yg dikasih tugas itu tidak akan mengambil keuntungan.
Maksudnya, dia tidak akan menyebut harga yang berbeda dengan harga yg dia sampaikan kepada pemilik kopi di kampung2. Jadi sang angko sendirilah yang akan memberinya keuntungan. O, orang Jakarte bilang; ruaaarrr biasa.
Celoteh si angko itu mungkin saja akan jadi guyonan masa kini mengingat prilaku kita, kita orang TORAJA era kini dalam banyak hal diametris dgn ceritra angko, sehingga kata Ebiet; mungkin TUHAN mulai bosan melihat tingkah kita, na mui siulu’ta dipakena dukamo ke urusan seng mo. Tetapi dulu tidak.
Itu asli, jujur itu karakter asli TORAJA, dan itulah yang mewujud dalam salah satu filosofih leluhur; kadanta ri tu ditoe ( kata itu jadi pegangan ).
Saya tidak narsis untuk membanggakan penilaian angko yang sudah mendekat 90 tahun itu. Karena kita bisa merelasikan nya dengan fakta – fakta tahun 60-an.
Di Sulsel saat itu hampir di semua instansi dimana ada org TORAJA maka jabatan bendahara pasti dipercayakan kepada org TORAJA. Dan kenapa angko – angko di Makassar mencari orang TORAJA untuk karyawan dan pembantu, selain karena rajin (matuttu’ ) terlebih karena faktor perangai ; *jujur* dan Itulah yang disebut *integritas*
Jadi kalau ada deklarasi integritas yang menggema dari Rantepao beberapa hari ini, sejatinya deklarasi bukan utk membangun integritas tetapi deklarasi untuk kembali ke jati diri orang TORAJA ; kinaa, itulah integritas.(*)
(*) ; Jacobus Mayong Padang (Bang Kobu), Cilegon, ujung barat pulau Jawa, allo sattu’ tujuh september dua ribu sembilan belas.