Updatekareba.Com, Toraja – Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengatur prosedur proses rekapitulasi baik di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), PPS, PPK, hingga KPU.
Di TPS, misalnya, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) harus mengisi berita acara pemungutan suara dan mengisi formulir C1 yang berisi jumlah pemilih yang terdaftar di TPS, surat suara yang dikirim ke TPS, jumlah surat suara yang baik dan rusak, surat suara yang digunakan, serta surat suara yang sah dan tidak sah.
Formulir ini diisi bersama pengawas dan saksi kedua belah pihak.
Formulir tersebut lantas dimasukkan ke dalam kotak bersegel dan dikirim langsung ke tingkat kelurahan.
Formulis C1 yang sudah diisi digandakan tujuh rangkap untuk diserahkan kepada saksi, pengawas, PPK, KPU daerah (KPUD).
Berdasarkan aturan, proses rekapitulasi di semua tingkat terbuka untuk masyarakat.
Artinya, masyarakat bisa memantau secara langsung proses rekapitulasi dari tingkat TPS hingga KPU.
Kecurangan bisa terjadi di tingkat desa dan kecamatan lantaran minim saksi. Kredibilitas saksi juga penting. Jika saksi bisa dibeli, salah satu pihak bisa melakukan kecurangan. Salah satu kubu juga bisa mendekati pengawas dan penyelenggara untuk melakukan kecurangan.

Sementara Calon Legislatif dari partai PDIP Heanokh Palungan mengatakan, ada beberapa modus kecurangan yang biasa terjadi saat pemilu. Pertama, memanfaatkan sisa surat suara yang tidak terpakai di TPS untuk dicoblos dan diberikan kepada kubu yang sudah memesan kepada oknum KPPS. Alhasil, perolehan suara kubu tersebut bisa menggelembung.
“Kedua, kecurangan bisa terjadi dengan menuliskan hasil yang berbeda antara hasil yang ada pada lembar catatan penghitungan suara plano alias C1 plano dengan penulisan hasil pada formulir C1, dan Ketiga, dalam beberapa kasus, penyelenggara menyerahkan pengisian formulir hasil penghitungan suara ataupun rekapitulasi suara kepada saksi agar pengisian lebih cepat. Di sinilah, celah manipulasi bisa terjadi sehingga timbul perbedaan hasil perolehan suara yag dimiliki penyelenggara dengan data peserta pilpres,” kata Heanokh Palungan.
Menurut Heanokh Palungan modus kecurangan rekapitulasi paling umum adalah politik uang. Jika pada saat pencoblosan pemilih menjadi sasaran, kini penyelenggara pemilu yang menjadi target politik uang.
“Yang paling rawan, penyelenggara pemilu dibayar untuk mengubah hasil rekapitulasi,” ujar Heanokh Palungan.
Namun, Heanokh Palungan mengingatkan, kecurangan tidak akan terjadi apabila saksi dan pengawas pemilu benarbenar bekerja optimal.

Caleg yang berlatar belakang jurnalis ini menilai, kecurangan pemilu selama ini terjadi lantaran saksi dan pengawas pemilu lemah dalam pengawasan.
“Kalau saksi dan pengawas serta penyelenggara benar-benar bekerja dan tidak kongkalikong, manipulasi dan kecurangan tidak akan terjadi,” tambahnya.
Dari temuan redaksi Updatekareba.Com di TPS yang ada di Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja, lagi – lagi formulir C1 ada yang kosong namun lengkap tanda tangan KPPS dan saksi, serta salah jumlah dalam pengisian kolom total perolehan suara partai di C1.(*)