UPDATEKAREBA.COM, TORAJA – Sengketa kepemilikan tanah di lapangan gembira Rantepao, Kabupaten Toraja Utara oleh Mahkamah Agung hukum tetap. Merujuk gugatan penggugat (ahli waris H. Ali), mulai dari Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah Agung, Bupati Toraja Utara sebagai tergugat diharuskan membayar ganti materil sebesar Rp 150 miliar kepada penggugat. Selain itu, kerugian imateril sebesar Rp 500 miliar. Kemudian, jika tidak dibayar sejak waktu eksekusi dilakukan, Bupati Toraja Utara juga diharuskan membayar “uang paksa” sebesar Rp 2 juta per hari dari keterlambatan pembayaran.
Eksekusi terhadap perkara ini kelihatan belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Sebab, pada objek yang sama, ada gugatan perlawanan dari pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dan, sidang gugatan perlawan dari Pemprov Sulsel ini sudah dimulai sejak 29 November 2021.
Pemprov Sulsel melakukan gugatan perlawanan setelah pada perkara sebelumnya antara ahli waris Haji Ali versus Pemkab (Bupati) Toraja Utara, dimenangkan oleh penggugat (dalam hal ini ahli waris Haji Ali) hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Bahkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari Bupati Toraja Utara terhadap perkara gugatan Lapangan Gembira/Lapangan Pacuan Kuda ini ditolak oleh Mahkamah Agung pada 16 Desember 2020 yang lalu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan gugatan perlawanan karena di dalam objek sengketa, yakni Lapangan Gembira atau Lapangan Pacuan Kuda Rantepao, ada dua persil tanah milik Pemprov Sulsel yang sudah bersertifikat.
Dua persil itu yakni, tanah lokasi SMA Negeri 2 Toraja Utara dan Kantor Dinas kehutanan serta perumahan pegawai, yang saat ini, juga berdiri gedung Samsat Toraja Utara.
Kuasa hukum Pemprov/Gubernur Sulsel, Mauli Yadi Rauf, mengatakan lokasi dua objek gugatan perlawanan itu sudah bersertifikat. Obyek pertama yakni tanah yang ditempati SMAN 2 Toraja Utara dan ada bangunan di belakangnya yang bersertifikat sejak 8 Desember 1981. Objek kedua adalah lokasi yang saat ini berdiri kantor Dinas Kehutanan bersama kantor Samsat, serta perumahan pegawai. Objek itu sudah bersertifikat sejak 15 Maret 1986.
Dalam perkara ini, selain ahli waris Haji Ali, Bupati/Pemkab Toraja Utara juga turut menjadi tergugat. Sebab, pada perkara sebelumnya, yakni ahli waris Haji Ali versus Bupati Toraja Utara, kedua objek milik Pemprov Sulsel tersebut, masuk dalam objek gugatan.
Ketua Bidang Antar Lembaga DPP Asosiasi Advokat Indonesia
Nicolas Dammen T. S,H.,CLA, menyampaikan tanah Lapangan Gembira itu adalah termasuk tanah bekas hak milik Belanda yang belum diterbitkan bukti haknya berupa sertifkat dalam tenggat waktu yang ditentukan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diktum Kedua Pasal I, III dan V hak- hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan setelah tenggang waktu tersebut berakhir menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
“Sudah benar dan sah penguasaan pemkab Toraja Utara atas lapangan gembira, hanya saja sepertinya kuasa Para Tergugat tidak ada yang menyampaikan dalil demikian selama proses persidangan di pengadilan negeri,” kata Nicolas Dammen, Rabu (14/9/2022).
Menurut advokat asal Toraja ini mengungkapkan masyarakat termasuk pihak yang mengklaim diri sebagai ahli waris dari pihak yang mengaku pemilik bidang tanah lapangan gembira, seharusnya melakukan pendaftaran ulang hak-hak barat yang telah diterimanya itu selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 agar segera diterbitkan hak baru atas tanah tersebut. Setelah lewat masa waktu yang ditentukan maka hak-hak atas tanah tersebut akan langsung dikuasai Negara.
“Sejak 24 September 1980 demi hukum sah dikuasai negara, karena ahli waris memang lalai melakukan pendaftaran ulang hak-hak barat yang telah diterimanya itu,” ucap Nico.
Lanjutnya, eksepsi dari kuasa Tergugat II (PT Telkom) sebenarnya ada menyerempet namun kurang tegas dibuat yang harusnya dalil itu dimasukkan dalam pokok perkara.
“cuma dalil seperti ini gak pernah terungkap selama persidangan di PN Makale kayaknya. Nah, karena sikap majelis hakim dalam sidang perdata yang bersifat pasif, dalil hukum seperti ini tak diangkat. jadi Majelis Hakim juga gak salah, makanya putusannya jadi begitu,” terang Ketua Bidang Antar Lembaga DPP Asosiasi Advokat Indonesia ini.(*/UK)